Selamat Datang di Media Sosial Pesantren

Selamat Datang di Media Sosial Pesantren

Oleh: 
Syaifullah Ibnu Nawawi* 

Suatu ketika, Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang mengunggah jadwal pengajian yang dapat diikuti para santri Muallimin dan Muallimat kala di rumah. Karena sejak dipulangkan lantaran virus Corona, mereka harus tetap mengikuti materi kajian kitab kuning lewat online. Sontak jadwal yang telah terpampang tersebut dikomentari oleh dosen di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, “Nah ini top, ngajinya dionlinekan. Menunggu didatangi Mbak Corona, baru terlaksana onlen2annya,” kata Agus Zainal Arifin.

Memang, siapa yang bisa membayangkan keadaan seperti ini akan terjadi sebelumnya? Nyaris tidak pernah ada. Santri yang mengelu-elukan pengajian di teras pondok sembari membawa kitab, harus mengubur minat tersebut lantaran virus Corona. Tak ada lagi khataman kitab yang berjilid-jilid, suasana puasa ala pesantren dan sejenisnya yang dilakukan di pesantren. Para santri sekarang harus rela rebahan di rumah dalam waktu yang tidak diketahui jadwal normalnya.

Namun, musibah akan membawa hikmah. Bahwa dengan Covid-19 yang memaksa semua kalangan, termasuk para santri untuk tinggal di rumah lebih lama, maka pembelajaran akhirnya harus dilakukan tanpa harus keluar ruangan. Baik kiai, ustadz, guru dan tenaga pengajar akhirnya harus siap dengan perkembangan teknologi yang mengharuskan tampil di depan laptop dan gawai untuk menyiarkan kitab yang diampunya kepada khalayak.

Entah ini kebetulan atau tidak, keharusan mengonlinenkan pengajian, akhirnya menemukan momentum yakni datangnya bulan Ramadlan. Kalau pengajian yang awalnya hanya bisa dinikmati kalangan terbatas, saat ini bisa dinikmati semua banyak pihak. Bahkan mereka yang awalnya awam dengan ngaji ala pesantren karena tidak pernah mondok, akhirnya bisa tahu dan menjadi bagian dari kegiatan tersebut. 

Cara Pandang yang Harus Berubah
Sebenarnya keinginan untuk menjadikan pembelajaran dalam jaringan sebagai sarana bagi para santri dan pesantren sudah kerap dilakukan. Salah satu yang sangat getol adalah Agus Zainal Arifin. Guru besar ITS tersebut telah menawartkan ke banyak pesantren dan lembaga pendidikan formal. Diyakinkan bahwa untuk melakukan hal ini tidak harus membutuhkan biaya tinggi. Kunci utamanya adalah harus ada kemauan, khususnya dari steakholder pesantren dan pimpinan madrasah.

Di status Facebooknya yang lumayan panjang, Profesor Agus menjelaskan bahwa sejak 2007 banyak yang aktif mempromosikan perangkat pembelajaran e-learing. Dari mulai moodle, dokeos, dan perangkat pembelajaran lainnya, termasuk dirinya. “Kampus perguruan tinggi, sekolah, madrasah, pondok pesantren, dan berbagai tempat lainnya mungkin sudah ratusan yang saya dan kawan-kawan kunjungi,” akunya.

Bisa dibayangkan, mungkin tidak mudah bagi Wakil Ketua Pimpinan Pusat (PP) Rabithah Ma’ahid Ismaliyah Nahdlatul Ulama (RMINU) ini untuk meyakinkan terkait pentingnya pembelajaran secara online. Tentu harus klop antara jadwal bertemu dengan bagaimana meyakinkan akan pentingnya membincang model pembelajaran tersebut.

Dalam sebuah kesempatan bertemu ratusan pimpinan pesantren di pasuruan beberapa waktu lalu, Prof Agus menjelaskan bahwa sudah saatnya pembelajaran kitab kuning  di pesantren disampaikan dengan terukur dan terencana, tidak sekadar mengaji.

Sehingga dalam rentang waktu tertentu, pihak yayasan atau pengasuh dapat memastikan capaian pembelajaran yang telah dilakukan dalam rentang waktu yang ada. Semisal Kitab Hikam, harus berapa lama dikhatamkan sudah dapat dipantau lantaran jumlah halamannya telah diketahui dan waktu tatap muka turut diperhitungkan.

Saat mencoba menawarkan hal tersebut ke pesantren ternyata sambutannya luar biasa dan berkeinginan untuk implementasi pembelajaran berbantukan komputer sangat tinggi. Namun berdasarkan evaluasi yang dilakukan, bahwa hal tersebut ternyata menyisakan juga beberapa kendala yang cukup mengganggu. Seperti prioritas biaya, SDM, teknologi, dan mindset. “Tapi menurut saya yang paling sulit hanya mindset,” ungkapnya.

Dirinya menyadari bahwa sampai hari ini memang sudah banyak lembaga pendidikan yang menggunakan e-learning. Namun dibanding jumlah perguruan tinggi yang 4.500, jumlah sekolah dan madrasah yang puluhan ribu, apalagi pondok pesantren, jumlah itu tidak ada apa-apanya. “Saya sudah gunakan banyak metode, sudah konsultasi kepada banyak pihak, dan sudah kerja sama dengan banyak pengajar. Namun hasilnya belum juga maksimal, mereka belum serius. Pemerintah padahal juga sudah banyak berinvestasi untuk ini,” keluhnya.

Karena itu saat Tuhan menghadirkan salah satu makhluk bernama Corona, suasana berubah. Bersamaan dengan itu tiba-tiba hampir semua lembaga pendidikan mengumumkan penggunaan e-learning bagi seluruh aktivitas pembelajarannya. Tidak hanya Moodle, Google Drive, Microsoft 365, Facebook, Edmodo, bahkan teleconference dengan Zoom sejak beberapa hari ini tiba-tiba lazim digunakan.

Merencanakan Ulang Pengajian
Saat ini semua kalangan telah dibukakan cara pandangnya. Kiai, ustadz, guru, dosen dan siapa saja mulai memiliki mindset baru bahwa pembelajaran tak harus datang fisik. Akan tetapi, yang harus diingat bahwa e-learning itu kekuatannya bukan pada huruf e-nya, yakni peralatan elektronik. Yang seharusnya justru pada learning atau pembelajarannya. Semua infrastruktur teknologi informasi ini adalah alat bantu ajar. Pembelajaran sesuai dengan zamannya akan selalu menggunakan alat bantu ajar, agar efisien waktu tenaga, biaya, dan resource lainnya.

Dalam pandangan Prof Agus, bila sekadar meletakkan bahan ajar di internet, server, Google Drive, atau Moodle, tanpa ada ada rencana pembelajaran yang tepat, maka efisiensi itu saja tidak akan efektif mencapai tujuan. Apalagi kalau tatap muka dilaksanakan dengan teleconference, yang berarti strateginya berbeda dengan saat tatap muka langsung.

Semua harus dipersiapkan dengan baik. Meminjam istilah KH Bahauddin Nursalim atau Gus Baha bahwa kebaikan harus dikelola dengan baik dan terencana. Mengapa dakwah gagal atau paling tidak, tidak mampu menyaingi bisnis peredaran narkoba? Salah satu kata kuncinya lantaran tata kelola narkoba didesain dengan sangat rapi dari yang mulai kalangan bandar, pemasok, hingga pengedar di gang sempit. Dakwah kita? Hanya dipikirkan oleh sebagian kalangan dan itu dengan sumber daya dan dana seadanya. Pengajian asal dilakukan, tidak ada soal perencanaan dan bagaimana mengemasnya agar menarik dan efektif, belum lagi seperti apa pembiyaannya.

Karenanya, semua mensyaratkan perencanaan yang baik. Kapan harus tutorial, kapan harus asesmen, kapan harus berlatih secara mandiri, atau kapan harus dievaluasi, semua harus dijadwalkan waktu dan kontennya. Karenanya, perlu duduk sejenak, mengatur ulang dan men-tuning rencana dakwah yang sudah ada di depan mata.

Jangan sampai ada pemborosan bandwidth untuk pembelajaran yang tidak efektif. Dakwah lewat ngaji kitab secara online mungkin juga harus melewati ini agar yang dicapai sesuai dengan harapan, bahkan di luar ekspektasi kiai dan ustadz yang menggelar pengajian.

Dengan demikian, mengajar online atau offline sama saja. Butuh persiapan agar murid dan jamaahnya paham. Persiapan rencana pembelajaran, strategi pembelajaran, media pembelajaran, bahan ajar, bahkan juga persiapan mental pengajar. Efeknya nanti pada jamaah dan murid. Bisa membayangkan usai pengajian kitab online digelar, para ‘jamaah virtual’ memiliki pemahaman yang membanggakan atas materi yang disampaikan?

Bila ini yang dilakukan, betapa ngaji kitab online yang sudah digelar saat ini akan memberikan sumbangsih bermakna bagi perbaikan insan di Tanah Air, bahkan bisa jadi warga dunia. Dan inilah yang menjadi semangat muassis NU dalam mendirikan jamiyah ini, termasuk juga yang diharapkan pendiri pesantren.

*Penulis adalah salah seorang redaktur di situs NU Online


from Selamat Datang di Media Sosial Pesantren Halaqoh

from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2020/04/selamat-datang-di-media-sosial-pesantren.html Selamat Datang di Media Sosial Pesantren

Comments

Popular posts from this blog

Makna Khotam Sulaiman

Kumpulan Foto Masa Muda Guru Zaini Sekumpul

Peristiwa 27 Juli: Konflik Para Jenderal AD, lalu Merapat ke Jokowi