Ramadhan: Heart Covering or Head Covering

Ramadhan: Heart Covering or Head Covering



Selamat beribadah untuk semua Muslimah di Indonesia, bulan Ramadhan telah hadir mengisi keheningan saat pandemi COVID-19. Respon atas pandemi ini beracam-macam, dari main toktok challange, kampanye kebersihan hingga charity. Namun, minggu ini ada yang spesial bagi perempuan Indonesia yakni pada 21 April 2020 telah diperingati sebagai hari kartini, tokoh emansipasi wanita.  Media sosial dipenuhi dengan qoutebijak dan kritik atas perempuan modern. Kali ini  saya tergelitik dengan cuwitan di sosial media yang ramai dengan kontroversi model berjilbab dikalangan perempuan muslimah, karena kita ketahui saat ini banyak model berjilbab yang modern dan sepertinya keluar dari pakem lama. Netizen berkomentar tentang foto selebgram yang bergaya funky ‘kekinian’ ala anak milenial yang anti mati gaya gaes. Namun, menjadi persoalan kenapa probelmatika ini muncul? Kenapa harus memilih antara Syar’i Bercadar atau Jilbab? Mengapa tidak fokus pada heart coveringbukan hanya sekedar head covering. Fenomena ini menarik ketika melihat situasi kita saat ini sedang mengalami pandemi Covid-19 dan  menjalan ibdah puasa dibulan Ramadhan,.
Melihat sejarah saya perlu agar kita bisa memahami kenapa fenomoena ini terus muncul seperti siklus musiman. Saat kemunculan tren jilbab di Indonesia tahun 1980’an yang dipengaruhi oleh Al-Ihwan Al-Muslim di Mesir 1928 dan revolusi Iran 1979. Para akademisi, seminar, pemberitaan media membahsa mewabahnya tren jilbab dikalangn kaum muslimah. Melalui karya Ikhwan Al-Muslimin yang diterjemahkan kebahasa Indonesia dan pemikiran tokoh Hasan Albana dan Sayyid Qutb diterima oleh sebagian kalangan kemudian mempengaruhi aktifis kampus untuk mendirikan pergerakan dakwah kampus yang berfaham salafi dan 1980 revolusi Iran membuat tren jilbab berekmbang pesat seiring lahirnya pergerakan keIslaman dikampus. Faktor internal dan eksternal mengenai perkembangan jilbab di Indonesia juga dipangaruhi ileh ORBA, kebijakan ORBA yang represif pada kelompok-kelompok Islam, masii melihat agama Islam sebagai ancaman bukan sebagai mitra. Sejarah panjang ini mempengaruhi bagaimana respon masyarakat kita saat ini, ketika generasi milenial haus akan ilmu tentang keagamaan mereka akan mulai dari media jika dulu melalui karya-karya klasik maka anak milenial lebih menyukai hal-hal yang kekinian dan mudah dipahami, seperti kita ketahui bersama bahwa media sosial menjadi dunia virtual yang mampu membangun peradaban baru dengan pengetahuan hybrid, dalam hal ini ketika anak-anak remaja hanya mendapatkan dari media sosial (minim penjelasan atau tafsiran) sehingga yang ada ialah pemahaman tentang teologi Islam yang cenderung saklek. Sebagian muslimah menemukan cadar sebagai head covering sebelum heart covering karena dianggap sebagai solusi untuk mendapatkan keamanan dari godaan (mean: godaan pemikiran liar orang lain) sebagai upaya menjaga diri dan ketika ditelusuri cadar biasanya terasosiasi dengan pemahaman Islam tekstualis, sehingga muncul abstraksi cadar yang didifinisikan sebagai gamis hitam-hitam, khimar hitam brukut dan cadar hitam brukut. Namun ternyata muslimah milenial kreatif alih-alih mengikuti kesaklekansoal warna, mereka membuat image muslimah kekinian dan stylish,  sebagian menyebut dirinya golongan ukhti fillah (milenila anti pacaran) berbusana muslim tidak hanya berwana gelap, mereka menyukai mode terbaru dan mengikuti tren warna yang sedang booming.
Seperti siklus jika dahulu gelombang muslimah memperdebatkan tentang berjilbab atau tidak (aurat dimaknai sebagai penutup rambut)maka saat ini berjilbab harus dengan menutup wajah atau tidak, apakah wajah termasuk aurat apa tidak. Gelombang generasi muslimah milenial ini memicu komentar netizen karena netizen mempersoalkan tentang apa yang harus diutamakan selain cara berpakaian, opini yang muncul ialah head covering hanya simbolis jika tidak dibarengi olehheart covering, dan sosial media dipenuhi dengan stigma tentang muslimah yang baik harus dengan standar A (syar’i)dan jika tidak maka harus segera hijrah mengkuti standar yang telah disepakati. Paradoks memang, namun alangkah baiknya ketika ramadhan ini diisi dengan ngaji virtual mengikuti para ulama dan melakukan segala praktik keagamaan yang bisa memperbaiki hati dan fikiran dari pada membuang energi untuk justifikasi pada kaumnya sendiri, dan ini salah satu fakta pemicu konflik keagamaan ialah konflik dengan kepercayaan agama lain, namun dengan yang seagama namun beda madzhab sudah menjadi persoalan. Mengikuti dawuh KH. Anwar Manshur sebaiknya Ramadhan kali ini di isi dengan pertobatan yang sungguh-sungguh, memohon ampun atas dosa dan khilaf kita selam hidup. Menegaskan pada kita untuk tidak hanya head covering namun heart covering akan memancarkan keIslaman yang indah untuk para muslimah. Salim virtual! 
keterangan: foto selebgram
 *Lia Hilyatul Masrifah 





from Ramadhan: Heart Covering or Head Covering Halaqoh

from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2020/04/ramadhan-heart-covering-or-head-covering.html Ramadhan: Heart Covering or Head Covering

Comments

Popular posts from this blog

Makna Khotam Sulaiman

Kumpulan Foto Masa Muda Guru Zaini Sekumpul

Peristiwa 27 Juli: Konflik Para Jenderal AD, lalu Merapat ke Jokowi