Meneladani Kedisiplinan Kiai Zainuddin Djazuli dalam Pengajian Shoban
Meneladani Kedisiplinan Kiai Zainuddin Djazuli dalam Pengajian Shoban
Oleh: Ahmad Karomi*
Subuh itu terasa sejuk, hingga kantuk tak beranjak pergi dari pelupuk mata, namun sayup-sayup terdengar suara "Sholla, sholla, ayo jamaah Gus!". Seketika itu juga setan Wasnan yang bertugas mengganggu santri yang asyik tidur tiba-tiba kabur hingga mantra yang ditiupkan tak bertaji.
Saat suara itu kian mendekat, para santri Al-Falah Dua pun berhamburan lari ke kamar mandi untuk wudhu', bahkan ada juga yang sekedar "ngucek mata" sebagai syarat untuk melek. Siapakah pemilik suara itu? beliau adalah Kiai Zainuddin Djazuli. Putra pertama Kiai Djazuli Usman yang "tafaulan" dari nama Kiai Zainuddin Mojosari Nganjuk.
Romo Kiai Din, adalah sosok kiai yang dikenal tegas dan disiplin. Meskipun demikian, sikap itu didasari rasa kasih sayang kepada santri dan putra-putrinya. Sikap Romo Kiai Din yang tegas ini mencontoh ayahnya, yakni Kiai Djazuli Usman dalam mendidik putra-putri dan santrinya.
Secara genealogi keilmuan, Kiai Din pernah nyantri di Lasem, khususnya pada Kiai Maksum Lasem dan beberapa kiai lainnya. Beliau memiliki keahlian di berbagai bidang, seperti fikih, lughat, tasawuf dan beberapa ilmu eksakta. Terbukti beliau mengampu pengajian Ihya' Ulumuddin, Bidayatul Hidayah, Fathul Qarib dan Shoban. Bahkan, Al-Falah Dua dan rumah pribadi, beliaulah yang menjadi arsiteknya.
Pengajian Shoban Penuh Kesan
Seusai jamaah subuh adalah waktu yang sangat berat, sebab rangkaian kegiatan ngaji sudah menunggu. Bagi santri yang masih ngantuk berat, harus berjuang supaya tidak tertidur atau terancam ketinggalan materi pengajian pondok. Adalah kitab Shoban, kitab syarah asymuni yang mensyarahi Alfiyah ibn Malik menjadi magnet tersendiri bagi santri Ploso kala itu. Lantaran, kitab Shoban ini jarang diajikan, apalagi dibaca langsung oleh Romo Kiai Din.
Jadi, tidak mengherankan bila jumlah santri yang ikut ngaji Shoban membludak tumplek blek di Al-Falah Dua. Saya, yang saat itu masih kelas 1 tsanawi menyaksikan bagaimana keistiqomahan Romo Kiai Din mbalah kitab berkategori kelas berat tersebut. Hingga tak jarang para santri "sangu kopi" agar tetap bisa maknai langsung dari Romo Kiai Din.
Setelah semua santri berkumpul dan TOA terpasang baik, pandangan Romo Kiai Din menyoroti sekeliling Aula Al-Falah Dua. Beliau bertanya kepada salah satu khadim, "Sohib endi?" ucap Romo Kiai Din. "Tasik teng kamar, Yai", jawab khadim. Tampaknya, Romo Kiai Din menunggu salah satu putra yang belum muncul. Setelah putra tersebut hadir, pengajian Shoban pun dimulai dengan bacaan fatihah.
Saya yang pada waktu itu juga ikut ngaji Shoban (meski banyak makna yang bolong-bolong, heheh) menyaksikan bagaimana Romo Kiai Din mengajarkan kedisiplinan kepada putra dan santri-santrinya. Bahkan pernah hampir setengah jam pengajian belum dimulai dikarenakan menunggu salah satu putra kumpul. Tradisi ini beliau unduh dari Kiai Ahmad Djazuli.
Fenomena ini juga saya saksikan saat Abuya Dimyati Banten akan mengaji kitab Tafsir Tabari, beliau tidak akan memulai pengajian sebelum putra-putranya kumpul di majlis. "Saya niatkan pengajian ini ngajari anak-anak dan keluarga," kira-kira demikian maqolah yang saya ingat.
Kembali pada kisah ngaji Shoban di Ploso. Suatu ketika ada salah satu khadim yang sangat capek namun sangat antusias mengikuti pengajian Shoban. Akhirnya, kantuk pun tak bisa ditahan, tiba-tiba jidat kepalanya membentur ubin Aula. Spontan seluruh majlis di situ gerr.
Dengan sigap, si khadim membenarkan kopyahnya dan berangsur turun dari lantai Aula untuk cuci muka. Namun hebatnya dia tetap semangat, kembali ngaji meskipun jidat kepalanya "beradu" dengan kerasnya ubin.
Tiga maqolah yang saya ingat dari Romo Kiai Din dalam pengajian adalah: 1) "jangan terlalu kecil bila memaknai kitab, sebab akan menyulitkan mata untuk mutala'ah", 2) "kulo dereng sanggup nglakoni dawuh-dawuh saking Bidayatul Hidayah" (tiap memasuki bab Ghibah), 3) "Santri ojo ngisin-ngisini pondokane" (saat ngaji kitab Ta'lim), dan beberapa maqolah lainnya.
Semoga Romo Kiai Din (di usia 90 tahun lebih) dan seluruh masyayikh maupun keluarga Ploso Kediri pinaringan sehat wal afiat dan penuh berkah.
________________
*Alumni Al-Falah Ploso Kediri, PW LTNNU Jatim
from Meneladani Kedisiplinan Kiai Zainuddin Djazuli dalam Pengajian Shoban Halaqoh
from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2020/04/meneladani-kedisiplinan-kiai-zainuddin.html Meneladani Kedisiplinan Kiai Zainuddin Djazuli dalam Pengajian Shoban
Oleh: Ahmad Karomi*
Subuh itu terasa sejuk, hingga kantuk tak beranjak pergi dari pelupuk mata, namun sayup-sayup terdengar suara "Sholla, sholla, ayo jamaah Gus!". Seketika itu juga setan Wasnan yang bertugas mengganggu santri yang asyik tidur tiba-tiba kabur hingga mantra yang ditiupkan tak bertaji.
Saat suara itu kian mendekat, para santri Al-Falah Dua pun berhamburan lari ke kamar mandi untuk wudhu', bahkan ada juga yang sekedar "ngucek mata" sebagai syarat untuk melek. Siapakah pemilik suara itu? beliau adalah Kiai Zainuddin Djazuli. Putra pertama Kiai Djazuli Usman yang "tafaulan" dari nama Kiai Zainuddin Mojosari Nganjuk.
Romo Kiai Din, adalah sosok kiai yang dikenal tegas dan disiplin. Meskipun demikian, sikap itu didasari rasa kasih sayang kepada santri dan putra-putrinya. Sikap Romo Kiai Din yang tegas ini mencontoh ayahnya, yakni Kiai Djazuli Usman dalam mendidik putra-putri dan santrinya.
Secara genealogi keilmuan, Kiai Din pernah nyantri di Lasem, khususnya pada Kiai Maksum Lasem dan beberapa kiai lainnya. Beliau memiliki keahlian di berbagai bidang, seperti fikih, lughat, tasawuf dan beberapa ilmu eksakta. Terbukti beliau mengampu pengajian Ihya' Ulumuddin, Bidayatul Hidayah, Fathul Qarib dan Shoban. Bahkan, Al-Falah Dua dan rumah pribadi, beliaulah yang menjadi arsiteknya.
Pengajian Shoban Penuh Kesan
Seusai jamaah subuh adalah waktu yang sangat berat, sebab rangkaian kegiatan ngaji sudah menunggu. Bagi santri yang masih ngantuk berat, harus berjuang supaya tidak tertidur atau terancam ketinggalan materi pengajian pondok. Adalah kitab Shoban, kitab syarah asymuni yang mensyarahi Alfiyah ibn Malik menjadi magnet tersendiri bagi santri Ploso kala itu. Lantaran, kitab Shoban ini jarang diajikan, apalagi dibaca langsung oleh Romo Kiai Din.
Jadi, tidak mengherankan bila jumlah santri yang ikut ngaji Shoban membludak tumplek blek di Al-Falah Dua. Saya, yang saat itu masih kelas 1 tsanawi menyaksikan bagaimana keistiqomahan Romo Kiai Din mbalah kitab berkategori kelas berat tersebut. Hingga tak jarang para santri "sangu kopi" agar tetap bisa maknai langsung dari Romo Kiai Din.
Setelah semua santri berkumpul dan TOA terpasang baik, pandangan Romo Kiai Din menyoroti sekeliling Aula Al-Falah Dua. Beliau bertanya kepada salah satu khadim, "Sohib endi?" ucap Romo Kiai Din. "Tasik teng kamar, Yai", jawab khadim. Tampaknya, Romo Kiai Din menunggu salah satu putra yang belum muncul. Setelah putra tersebut hadir, pengajian Shoban pun dimulai dengan bacaan fatihah.
Saya yang pada waktu itu juga ikut ngaji Shoban (meski banyak makna yang bolong-bolong, heheh) menyaksikan bagaimana Romo Kiai Din mengajarkan kedisiplinan kepada putra dan santri-santrinya. Bahkan pernah hampir setengah jam pengajian belum dimulai dikarenakan menunggu salah satu putra kumpul. Tradisi ini beliau unduh dari Kiai Ahmad Djazuli.
Fenomena ini juga saya saksikan saat Abuya Dimyati Banten akan mengaji kitab Tafsir Tabari, beliau tidak akan memulai pengajian sebelum putra-putranya kumpul di majlis. "Saya niatkan pengajian ini ngajari anak-anak dan keluarga," kira-kira demikian maqolah yang saya ingat.
Kembali pada kisah ngaji Shoban di Ploso. Suatu ketika ada salah satu khadim yang sangat capek namun sangat antusias mengikuti pengajian Shoban. Akhirnya, kantuk pun tak bisa ditahan, tiba-tiba jidat kepalanya membentur ubin Aula. Spontan seluruh majlis di situ gerr.
Dengan sigap, si khadim membenarkan kopyahnya dan berangsur turun dari lantai Aula untuk cuci muka. Namun hebatnya dia tetap semangat, kembali ngaji meskipun jidat kepalanya "beradu" dengan kerasnya ubin.
Tiga maqolah yang saya ingat dari Romo Kiai Din dalam pengajian adalah: 1) "jangan terlalu kecil bila memaknai kitab, sebab akan menyulitkan mata untuk mutala'ah", 2) "kulo dereng sanggup nglakoni dawuh-dawuh saking Bidayatul Hidayah" (tiap memasuki bab Ghibah), 3) "Santri ojo ngisin-ngisini pondokane" (saat ngaji kitab Ta'lim), dan beberapa maqolah lainnya.
Semoga Romo Kiai Din (di usia 90 tahun lebih) dan seluruh masyayikh maupun keluarga Ploso Kediri pinaringan sehat wal afiat dan penuh berkah.
________________
*Alumni Al-Falah Ploso Kediri, PW LTNNU Jatim
from Meneladani Kedisiplinan Kiai Zainuddin Djazuli dalam Pengajian Shoban Halaqoh
from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2020/04/meneladani-kedisiplinan-kiai-zainuddin.html Meneladani Kedisiplinan Kiai Zainuddin Djazuli dalam Pengajian Shoban
Comments
Post a Comment