HADITH PUASA DALAM LITERATUR NUSANTARA (Bag. 1)

HADITH PUASA DALAM LITERATUR NUSANTARA (Bag. 1)

Oleh: 
Wasid Mansyur
(Alumni LP al-Khoziny Buduran Sidoarjo)

Sumber hukum Islam yang kedua, setelah al-Qur’an, telah disepakati oleh para ulama adalah hadith-hadith Nabi Muhammad SAW, baik perkataan (qaulan), perbuatan (fi’lan), maupun ketetapan (taqriran). Karenanya, posisi hadith sangat penting bukan saja sebagai sumber hukum Islam, tapi sekaligus penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang sangat global, seperti kewajiban berpuasa di bulan suci Ramadhan.

Kewajiban puasa secara tehnis dijelaskan oleh Nabi Muhammad melalui hadith-hadithnya sehingga cukup beralasan bila kemudian banyak kitab-kitab yang memuat hadith dengan bahasan khusus mengenai puasa Ramadhan dan seluk beluknya. Salah satunya adalah Kitab Tanqihul Qaul al-Hastisti  Syarh Lubabul Hadith, karya Syaikh Nawawi al-Bantani; salah satu ulama Nusantara asal Banten. 

Untuk itu, kitab ini layak dibaca dalam mengisi keberkahan bulan suci Ramadhan di tengah musibah Corona, mengingat kitab aslinya Lubabul Hadith karya al-Hafidh Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuti, disyarahi oleh ulama sekaliber Syaikh Nawawi mampu ditafsirkan dengan baik dan enak dibaca dalam kitabnya Tanqihul Qaul al-Hastisti.  

Sekilas Penulis dan Kitabnya
Syaikh Nawawi al-Bantani merupakan ulama Nusantara, yang cukup sukses dan dikenal di Makkah, terlahir tahun 1230 H/tahun 1813 M di desa Tanara Kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang Jawa Barat dan meninggal di Makkah tahun 1314 H atau tahun 1897 M. Kealimannya cukup dikenal dengan karya-karyanya dari berbagai disiplin ilmu sehingga mampu menjadi rujukan para santri, baik dari Nusantara maupun negara lain, untuk menimba ilmu dan berharap keberkahan beliau.

Syaikh Nawawi dikenal sebagai Maha Guru Nusantara yang selalu hidup dalam ketaqwaan, zuhud, dan tawadhu’. Banyak santri terlahir dari didik beliau, di antaranya Syaikh Mahfudz al-Tarmasi, Syaikh Kholil al-Bangkalani Madura, Syaikh Tubagus ahmad Bakri As-Sampuri, dan lain-lain. Dari para murid beliau ini, silsilah kesanadan ilmu di Indonesia berkembang dengan baik, khususnya terjaga sampai hari ini di beberapa pesantren yang tetap setia terhadap tradisi baca kitab kuning.

Banyak karya terlahir dari tangan Syaikh Nawawi, yang salah satunya kitab Tanqihul Qaul al-Hastisti (Revisi Perkataan yang Mendesak). Kitab ini sesuai judulnya, bukan sekadar syarh atau penjelas dari kitab aslinya, Lubabul Hadith, tapi juga pengingat bagi para pembaca semua. Alasan menulisnya, sebagaimana diuraikan pada halaman pengantar, karena kebutuhan publik yang mendesak, mengingat kitab Lubab Hadith  banyak dipakai dan banyak pula perubahannya.

Untuk itu, kitab ini ditulis dengan ulasan yang sangat luas, sekaligus penuh sisipan yang meyakinkan bahwa Syaikh Nawawi adalah Maha Guru Nusantara yang konsisten terhadap dakwah ajaran Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Konsistensi ini cukup mewarnai pikirannya dalam kitab Tanqihul Qaul al-Hastisti, termasuk dalam karya-karya lainnya.

Ketika banyak orang mengatakan bahwa kitab aslinya ditemukan hadith dhaif, Syaikh Nawawi dengan penuh keyakinan –sebagaimana juga diyakini para ulama Aswaja sejagat--- mengatakan bahwa hadith-hadith dhaif yang memuat tentang keutamaan amalan-amalan tertentu (fadailul a’mal), masih tetap bisa diamalkan dengan mengutip pendapat imam Ibn Hajar dalam kitab Tanbihul Akhyar dan Imam Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Syarh Kitab Muhaddzab. Bukan hanya persoalan hadith dhaif, Syaikh Nawawi menegaskan tentang pentingnya sanad keilmuan, terlebih dalam kajian hadith, , lihat hal, 2-3, Cetakan Toha Putra Semarang.

Dua Hadith tentang Puasa
Kitab Tanqihul Qaul al-Hastisti mengupas 40 Bab secara tematik, yang setiap babnya memuat 10 hadith, termasuk bab yang menjelaskan tentang puasa. Ada dua hadith yang menurut penulis masyhur disampaikan oleh para penceramah setiap bulan suci Ramadhan, pertama hadith yang artinya sebagai berikut:

bagi yang berpuasa ada dua kebahagiaan, pertama kebahagiaan ketika berbuka dan kedua, kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya”

Pertama, kaitan dengan kebahagiaan ketika berbuka, Syaikh Nawawi memberikan alasan, kenapa ketika berbuka bahagia sebab haus dan dahaga sudah selesai, ketika waktu berbuka telah tiba. Lebih dari itu, menurut pendapat yang lain, ketika berbuka bahagai disebabkan berbuka adalah momentum kesempurnaan puasa, akhir dari ibadah, memperoleh keringanan Tuhan serta mendapat pertolonganNya untuk Puasa berikutnya.

Sementara kedua, kaitan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhan (Allah SWT), Syaihk Nawawi mengatakan bertemu Tuhan yang dimaksud adalah pada hari kiamat. Dengan mengutip Wahb ibn Munabbih, Syaikh Nawawi menambahkan bahwa tiada istirahat (penuk nikmat) bagi orang mukmin, tanpa bertemu dengan Tuhannya, yakni dengan bentuk balasan, pahala hingga melihat “wajah” Tuhannya.

Dari dua tafsiran Syaikh Nawawi di atas mengambarkan bagaimana dimensi dhahir dan batin cukup nampak dari “Word View” penafsirnya. Artinya, kebahagiaan dhahir –dengan berbuka—dan kebahagian batin – dengan bertemu Tuhan—adalah gambaran tentang sejatinya kebahagiaan. Hanya saja, indahnya duniawi dhahir, seringkali orang tertipu mengapaikan jalan batin. 

Cukup beralasan bila Syaikh Nawawi mengutip perkataan Wahb ibn Munabbi, tokoh Tabiin dan ahli sejarah, yang meninggal pada tahun 110 dengan umur 76 tahun. Pasalnya, kebahagiaan batin adalah inti kehidupan, karenanya puasa harus melampaui dimensi dhahir menuju batin. Tidak cukup puasa dhahir, sebab anak kecilpun bisa puasa dhahir tidak makan dan tidak minum.

Wallahu a'lam
 (bersambung..)


from HADITH PUASA DALAM LITERATUR NUSANTARA (Bag. 1) Halaqoh

from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2020/04/hadith-puasa-dalam-literatur-nusantara.html HADITH PUASA DALAM LITERATUR NUSANTARA (Bag. 1)

Comments

Popular posts from this blog

Makna Khotam Sulaiman

Kumpulan Foto Masa Muda Guru Zaini Sekumpul

Peristiwa 27 Juli: Konflik Para Jenderal AD, lalu Merapat ke Jokowi