Fiqih Shiyam (Bag-7)

Fiqih Shiyam (Bag-7)

📚 Yang Wafat dengan Membawa Hutang Puasa

📕 Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib

وَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ أُطْعِمَ عَنْهُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ.

Siapa yang meninggal dan punya hutang puasa, maka dikeluarkan makanan (fidyah) atas namanya satu mud untuk setiap harinya.

📒 Penjelasan

📌 Orang yang meninggal dalam keadaan belum melakukan qadha puasanya, ada dua kemungkinan: 

1️⃣ Kemungkinan pertama dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah:

أَنْ يَكُونَ مَعْذُورًا فِي تَفْوِيتِ الْأَدَاءِ وَدَامَ عُذْرُهُ إلَى الْمَوْتِ كَمَنْ اتَّصَلَ مَرَضُهُ أَوْ سَفَرُهُ أَوْ إغْمَاؤُهُ أَوْ حَيْضُهَا أَوْ نِفَاسُهَا أَوْ حَمْلُهَا أَوْ إِرْضَاعُهَا وَنَحْوُ ذَلِكَ بِالْمَوْتِ لَمْ يَجِبْ شَيْءٌ عَلَى وَرَثَتِهِ وَلَا فِي تَرِكَتِهِ لَا صِيَامَ وَلَا إطْعَامَ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا وَدَلِيلُهُ مَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنْ الْقِيَاسِ عَلَى الْحَجِّ

Tidak puasa Ramadhan karena udzur syar’i, dan udzurnya ini terus berlangsung sampai ia meninggal, misalnya sakit atau safar yang berkelanjutan, atau terus tak sadarkan diri, atau karena haid, nifas, hamil atau menyusui (terus sampai wafat), maka tak ada kewajiban apapun bagi ahli warisnya, juga tak ada kewajiban pada harta peninggalannya, baik puasa maupun memberi makan (fidyah). Tak ada perbedaan pendapat bagi kami dalam hal ini, dalilnya adalah qiyas atas haji seperti yang dijelaskan oleh Penulis Al-Muhadzdzab (maksudnya Abu Ishaq Asy-Syirazi - rahimahullah). (Al-Majmu’ 6/368).

✅ Maksudnya keluarganya tak harus berpuasa atas namanya (badal puasa) dan tak wajib menggunakan harta peninggalannya untuk membayar fidyah, karena almarhum/ah tidak melakukan kelalaian. (Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar, 1/363).

2️⃣ Jika almarhum/ah belum melakukan qadha padahal memungkinkan baginya melaksanakannya sebelum wafat, maka dianjurkan wali atau kerabatnya berpuasa untuknya menurut pendapat yang dipilih oleh ulama pentahqiq madzhab Syafi’i. 

📎 Dalilnya adalah hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang meninggal dalam keadaan berhutang puasa, maka hendaklah walinya berpuasa atas namanya. (HR. Al-Bukhari no 1851 dan Muslim no 1147).

✅ Al-Imam An-Nawawi menjelaskan maksud dari wali dalam hadits tersebut:

فَالصَّحِيحُ أَنَّ الْوَلِيَّ مُطْلَقُ الْقَرَابَةِ وَاحْتِمَالُ الإِرْثِ لَيْسَ بِبَعِيدٍ وَاللهُ أَعْلَمُ.

Yang benar yang dimaksud wali adalah kerabat secara mutlak, kemungkinan dimaknai ahli waris juga tak jauh (dari kebenaran), wallahu a’lam. (Al-Majmu’ 6/368).

📎 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ فَقَالَ: «لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ، أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى»

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Seorang laki-laki telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata: Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dan punya kewajiban puasa sebulan (Ramadhan), apakah aku qadha-kan untuknya? Beliau bersabda: “Andai ibumu punya hutang (kepada manusia), apakah engkau akan membayarkannya? Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Maka hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.” (HR. Muslim no 1148).

✅ Jika kerabatnya tidak berpuasa untuknya, maka pilihan lain adalah membayar fidyah berupa satu mud makanan pokok setempat untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya, wajib diambil dari harta peninggalannya sebelum dibagikan ke ahli waris karena ia adalah hutang, kalau tidak ada, maka diambil dari harta kerabat atau ahli warisnya. (Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i 2/93).

📎 Dalil tentang fidyah ini adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا» (رواه الترمذي، قال: حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ لَا نَعْرِفُهُ مَرْفُوعًا إِلَّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ، وَالصَّحِيحُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفٌ قَوْلُهُ)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: Siapa yang meninggal dan punya hutang puasa Ramadhan, maka atas namanya diberikan makanan untuk seorang miskin sebagai pengganti setiap harinya. (HR. At-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits Ibnu Umar kami tidak mengetahui bahwa ia marfu’ dari riwayat ini, yang benar adalah mauquf dari ucapan Ibnu Umar).

✅ Al-Imam An-Nawawi menyebutkan:

 الصَّحِيحُ عِنْدَ جَمَاعَةٍ مِنْ مُحَقِّقِي أَصْحَابِنَا وَهُوَ الْمُخْتَارُ أَنَّهُ يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُومَ عَنْهُ وَيَصِحُّ ذَلِكَ وَيُجْزِئُهُ عَنْ الْإِطْعَامِ وَتَبْرَأُ بِهِ ذِمَّةُ الْمَيِّتِ وَلَكِنْ لَا يَلْزَمُ الْوَلِيَّ الصَّوْمُ بَلْ هُوَ إلَى خِيَرَتِهِ. 

Yang shahih menurut sekumpulan pentahqiq sahabat-sahabat kami - dan ini adalah pendapat yang terpilih - bahwa wali atau kerabatnya boleh berpuasa untuknya, sah dan dengan demikian tak perlu ith’am (fidyah) serta membebaskan almarhum/ah (dari hutang puasa). Tetapi pilihan puasa ini tidak wajib bagi kerabatnya, ia bebas memilih (antara puasa atau fidyah). (Al-Majmu’ 6/368).

✅ Pihak keluarga juga boleh meminta orang lain untuk berpuasa atas nama almarhum/ah baik dengan atau tanpa upah, dalilnya adalah qiyas atas haji. Tanpa izin keluarga atau wasiat dari almarhum/ah tidak sah. (Al-Majmu’ 6/368, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i 2/93).

Bersambung ..

Sumber: https://t.me/ilmusyariah
Admin: @Ilmusyariah_admin


from Optimasi Dakwah .Net

Fiqih Shiyam (Bag-7)

from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2020/03/fiqih-shiyam-bag-7.html Fiqih Shiyam (Bag-7)

Comments

Popular posts from this blog

Makna Khotam Sulaiman

Kumpulan Foto Masa Muda Guru Zaini Sekumpul

Peristiwa 27 Juli: Konflik Para Jenderal AD, lalu Merapat ke Jokowi