Majelis Taklim Modern Menjadi Jalan Baru Kapitalisme Agama?
Majelis Taklim Modern Menjadi Jalan Baru Kapitalisme Agama?
Oleh: Sayyid Muhammad Syaugi Al-Muhdhar
Bulan Maulid segera tiba dengan berakhirnya bulan Shafar. Umat Islam di Indonesia beserta seluruh penggerak syiarnya bersiap serentak menyelenggarakan maulid besar-besaran. Puluhan, bahkan ratusan juta, siap dirogoh dari dalam kocek majelis. Puluhan proposal siap disebar untuk memeriahkan panggung.
Sejak lama saya merenungkan, memperhatikan dan menginsafi, bahwa ratusan juta uang yang dikeluarkan untuk menyokong majelis-majelis tersebut apakah cukup sebanding dengan peran-andil majelis dalam denyut nadi kehidupan masyarakat? Memang betul, masyarakat kita (termasuk saya) sangat mencintai maulid, begitupun sangat takdzim pada ulama dan pengampu majelis-majelis tersebut. Biar bagaimanapun, mereka adalah pengayom masyarakat. Setidaknya begitulah yang dirasakan tentang majelis 10 tahun yang lalu dan masa sebelumnya.
Dalam istilah "Majelis Taklim" ada dua kata yang harus benar dicermati masyarakat. Yakni "Majelis" yang berarti 'perkumpulan', dan "Taklim" yang berarti 'memberikan pelajaran'. Tentu pelajaran yang dimaksud adalah pelajaran terkait pengetahuan agama. Persis di surau-surau Minangkabau dulu, di majelis-majelis tua Jakarta, dan mushola kampung-kampung lama di Jawa Timur. Pengetahuan tentang agama ini juga perlu lagi diperinci dengan bermacam cabang keilmuannya. Majelis Taklim harus mampu memberi asupan ilmu yang sesuai dan dapat diterima serta dicerna masyarakat sekitar. Bila tidak terdapat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, tentu masyarakat harus lebih cermat memilih.
Majelis Taklim dalam mafhum modern sebagai yang kita saksikan (setidaknya) di jagat media sosial saat ini, jauh dari kata memberikan asupan yang tepat untuk masyarakat. Lebih jauh lagi, terkadang nilai dari majelis tersebut dihitung dari seberapa meriah dan megah acaranya, panggungnya, dan segala macam hal yang berkaitan dengan kulit luar seperti pembaca kasidah dan semacamnya. Singkatnya, Majelis Taklim kehilangan arah dan tujuan pada era modern ini.
Majelis Taklim modern tidak mampu mengeluarkan kader-kadernya yang kapabel dan mumpuni dalam bidang syariat sebagaimana dahulu. Bahkan boleh jadi pengasuh majelis tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dalam bidang agama. Dalam peribahasa Arab, ada sebuah ungkapan 'fqidus syai' la yu'tih'. Orang yang tak punya apa apa bagaimana mungkin dapat memberi?
Majelis Taklim dan acara Maulid Akbar tumbuh subur pada bulan maulid dengan meriah dan glamornya, namun apakah masyarakat mengerti apa yang disebutkan dari sejarah Nabi? Apakah masyarakat lebih mengenal Nabi? Lebih lanjut apakah masyarakat memahami kepekaan dan kecintaan sang Nabi pada mereka dari syariat yang diturunkan dan diajarkan? Nol besar, nihil dan gaib.
Masyarakat kita butuh lapangan pekerjaan, apakah majelis pernah berpikir berkhidmah pada masyarakat dan loyalisnya dengan mewakafkan sejumlah tanah untuk berwira usaha? Memberikan pelatihan dan pengembangan kemampuan? Atau setidaknya menjadi perantara menyalurkan bantuan dari anggota kepada anggota lainnya.
Pincangnya peran Majelis Taklim dalam mafhum modern ini baik dalam bidang agama maupun kepedulian terhadap anggota, memberikan sebuah tanda tanya besa: Apakah ini jalan baru kapitalisme Agama?
St. Aideed, Tarim, Hadhramaut, Yaman.
*Penulis saat ini menjalani pendidikan magister di Fakultas Syariah Universitas Al-Ahgaf, Yaman
Majelis Taklim Modern Menjadi Jalan Baru Kapitalisme Agama? from Santrijagad
from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2019/10/majelis-taklim-modern-menjadi-jalan.html Majelis Taklim Modern Menjadi Jalan Baru Kapitalisme Agama?
Oleh: Sayyid Muhammad Syaugi Al-Muhdhar
Bulan Maulid segera tiba dengan berakhirnya bulan Shafar. Umat Islam di Indonesia beserta seluruh penggerak syiarnya bersiap serentak menyelenggarakan maulid besar-besaran. Puluhan, bahkan ratusan juta, siap dirogoh dari dalam kocek majelis. Puluhan proposal siap disebar untuk memeriahkan panggung.
Sejak lama saya merenungkan, memperhatikan dan menginsafi, bahwa ratusan juta uang yang dikeluarkan untuk menyokong majelis-majelis tersebut apakah cukup sebanding dengan peran-andil majelis dalam denyut nadi kehidupan masyarakat? Memang betul, masyarakat kita (termasuk saya) sangat mencintai maulid, begitupun sangat takdzim pada ulama dan pengampu majelis-majelis tersebut. Biar bagaimanapun, mereka adalah pengayom masyarakat. Setidaknya begitulah yang dirasakan tentang majelis 10 tahun yang lalu dan masa sebelumnya.
Dalam istilah "Majelis Taklim" ada dua kata yang harus benar dicermati masyarakat. Yakni "Majelis" yang berarti 'perkumpulan', dan "Taklim" yang berarti 'memberikan pelajaran'. Tentu pelajaran yang dimaksud adalah pelajaran terkait pengetahuan agama. Persis di surau-surau Minangkabau dulu, di majelis-majelis tua Jakarta, dan mushola kampung-kampung lama di Jawa Timur. Pengetahuan tentang agama ini juga perlu lagi diperinci dengan bermacam cabang keilmuannya. Majelis Taklim harus mampu memberi asupan ilmu yang sesuai dan dapat diterima serta dicerna masyarakat sekitar. Bila tidak terdapat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, tentu masyarakat harus lebih cermat memilih.
Majelis Taklim dalam mafhum modern sebagai yang kita saksikan (setidaknya) di jagat media sosial saat ini, jauh dari kata memberikan asupan yang tepat untuk masyarakat. Lebih jauh lagi, terkadang nilai dari majelis tersebut dihitung dari seberapa meriah dan megah acaranya, panggungnya, dan segala macam hal yang berkaitan dengan kulit luar seperti pembaca kasidah dan semacamnya. Singkatnya, Majelis Taklim kehilangan arah dan tujuan pada era modern ini.
Majelis Taklim modern tidak mampu mengeluarkan kader-kadernya yang kapabel dan mumpuni dalam bidang syariat sebagaimana dahulu. Bahkan boleh jadi pengasuh majelis tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dalam bidang agama. Dalam peribahasa Arab, ada sebuah ungkapan 'fqidus syai' la yu'tih'. Orang yang tak punya apa apa bagaimana mungkin dapat memberi?
Majelis Taklim dan acara Maulid Akbar tumbuh subur pada bulan maulid dengan meriah dan glamornya, namun apakah masyarakat mengerti apa yang disebutkan dari sejarah Nabi? Apakah masyarakat lebih mengenal Nabi? Lebih lanjut apakah masyarakat memahami kepekaan dan kecintaan sang Nabi pada mereka dari syariat yang diturunkan dan diajarkan? Nol besar, nihil dan gaib.
Masyarakat kita butuh lapangan pekerjaan, apakah majelis pernah berpikir berkhidmah pada masyarakat dan loyalisnya dengan mewakafkan sejumlah tanah untuk berwira usaha? Memberikan pelatihan dan pengembangan kemampuan? Atau setidaknya menjadi perantara menyalurkan bantuan dari anggota kepada anggota lainnya.
Pincangnya peran Majelis Taklim dalam mafhum modern ini baik dalam bidang agama maupun kepedulian terhadap anggota, memberikan sebuah tanda tanya besa: Apakah ini jalan baru kapitalisme Agama?
St. Aideed, Tarim, Hadhramaut, Yaman.
*Penulis saat ini menjalani pendidikan magister di Fakultas Syariah Universitas Al-Ahgaf, Yaman
Majelis Taklim Modern Menjadi Jalan Baru Kapitalisme Agama? from Santrijagad
from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2019/10/majelis-taklim-modern-menjadi-jalan.html Majelis Taklim Modern Menjadi Jalan Baru Kapitalisme Agama?
Comments
Post a Comment