Dua Kiai Berebut Menjadi Santri
Dua Kiai Berebut Menjadi Santri
Oleh: Ahmad Karomi*
Sya'ban kala itu merupakan Sya'ban yang sangat berbeda, atau lebih tepatnya istimewa. Pasalnya para kiai seantero pulau Jawa-Madura berbondong-bondong ke Tebuireng untuk "ngaji hadis" jelang pasanan (baca: Ramadlan).
Adalah KH. Hasyim Asyari selaku inisiator di balik pengajian hadis tersebut. Menurut penuturan Alm. KH. Muhit Muzadi, tatkala KH. Hasyim Asyari menggelar pengajian hadis Sahih Bukhari-Muslim tokoh masyarakat maupun lintas ormas "ngaji hadis" ke Hadratus Syekh Hasyim Asyari di Tebuireng.
Saking istimewanya, salah satu guru (baca:kiai) KH. Hasyim Asyari semasa mondok ikut "ngaji hadis" kepada Hadratus Syekh. Konon, sosok guru itu adalah Syaikhona Kholil Bangkalan. Padahal dalam catatan Akarhanaf dalam buku KH. Asyari Bapak Umat Islam Indonesia menyebutkan peristiwa ini terjadi tahun 1933, faktanya Syaikhona Kholil wafat tahun 1925.
Kemisteriusan siapakah guru KH. Hasyim Asyari yang ikut ngaji hadis ini semakin mengecambahkan "rasa penasaran" saat Akarhanaf secara eksplisit tidak menyebutkan nama.
Terlepas dari itu semua, coretan mini ini bukan untuk menyelidiki sang guru. Akan tetapi lebih kepada "bagaimana sikap KH. Hasyim Asyari kepada gurunya yang ingin menjadi murid?".
Berebut Menjadi Santri
Pasca Hadratus Syekh Hasyim Asyari berguru kepada Syekh Mahfud Termas, Syekh Syuaib, Syekh Nawawi di tanah suci kemudian pulang ke tanah air, pesantren Tebuireng menjadi magnet di bidang ilmu hadis.
Salah satu guru yang sangat dihormati oleh KH. Hasyim Asyari tiba-tiba mendatangi dan secara terang-terangan menyatakan ingin "ngaji" langsung di Tebuireng. Tak ayal, Hadratus Syekh kaget bukan main. Mengutip dari Akarhanaf, dialog kedua tokoh mulia ini bila dinarasikan dalam bahasa kekinian, kurang lebih demikian:
"Anda adalah guru saya, sangat tidak pantas seorang murid mengajari gurunya" ucap KH. Hasyim Asyari. Sang guru pun menyahut dengan tegas: "Memang, dulu saya menjadi guru anda, akan tetapi mulai sekarang saya adalah murid anda."
KH. Hasyim Asyari sangat terkejut akan perkataan tegas dari gurunya ini. Hadratus Syekh pun menarik nafas panjang lalu berkata:
"Status seorang murid di hadapan seorang guru tidaklah berubah sampai kapan pun. Tidak ada perubahan selama-lamanya. Tapi bila anda berkeinginan keras, saya pasrah. Namun sudilah kiranya anda menyepakati persyaratan yang akan saya ajukan kepada anda."
Sang guru pun penasaran dan bertanya: "apakah syaratnya?"
KH. Hasyim Asyari tersenyum penuh arti seraya menjawab: "bila anda telah menganggap saya sebagai guru, maka mohon diperhatikan beberapa aturan ini, 1) rumah ini harus anda tempati, yang artinya tidak bertempat di pondok, 2) anda tidak boleh mencuci pakaian sendiri, tapi harus menyerahkan kepada saya, 3) apabila anda menginginkan sesuatu, maka anda harus memerintah saya untuk menjalaninya."
Aturan yang dibuat oleh KH. Hasyim Asyari untuk gurunya itu ternyata tidak serta merta dipatuhi, bahkan cenderung dilanggar oleh keduanya, yakni "pembuat aturan" dan "yang diatur". Bagaimana tidak, tiap usai sholat Maghrib, dua kiai mulia ini saling berebut melayani, menata sandal dan memakaikan ke kaki "guru".
Sebagai pamungkas, "permata" kisah tentang dua tokoh yang saling berebut tawadlu' ini adalah: "masing-masing tidak ada yang mengaku guru atau senang menjadi kiai. Akan tetapi masing-masing berebut menjadi santri dan berharap diakui santri. Bukan untuk berharap diakui sebagai kiai."
Khususon Hadratus Syekh Hasyim Asyari wa masyayikhihi lahumul fatihah.
(Ditulis di atas bis dari Surabaya menuju Blitar)
______________
*Sekretaris PW LTNNU Jatim
from Dua Kiai Berebut Menjadi Santri Halaqoh
from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2019/07/dua-kiai-berebut-menjadi-santri.html Dua Kiai Berebut Menjadi Santri
Oleh: Ahmad Karomi*
Sya'ban kala itu merupakan Sya'ban yang sangat berbeda, atau lebih tepatnya istimewa. Pasalnya para kiai seantero pulau Jawa-Madura berbondong-bondong ke Tebuireng untuk "ngaji hadis" jelang pasanan (baca: Ramadlan).
Adalah KH. Hasyim Asyari selaku inisiator di balik pengajian hadis tersebut. Menurut penuturan Alm. KH. Muhit Muzadi, tatkala KH. Hasyim Asyari menggelar pengajian hadis Sahih Bukhari-Muslim tokoh masyarakat maupun lintas ormas "ngaji hadis" ke Hadratus Syekh Hasyim Asyari di Tebuireng.
Saking istimewanya, salah satu guru (baca:kiai) KH. Hasyim Asyari semasa mondok ikut "ngaji hadis" kepada Hadratus Syekh. Konon, sosok guru itu adalah Syaikhona Kholil Bangkalan. Padahal dalam catatan Akarhanaf dalam buku KH. Asyari Bapak Umat Islam Indonesia menyebutkan peristiwa ini terjadi tahun 1933, faktanya Syaikhona Kholil wafat tahun 1925.
Kemisteriusan siapakah guru KH. Hasyim Asyari yang ikut ngaji hadis ini semakin mengecambahkan "rasa penasaran" saat Akarhanaf secara eksplisit tidak menyebutkan nama.
Terlepas dari itu semua, coretan mini ini bukan untuk menyelidiki sang guru. Akan tetapi lebih kepada "bagaimana sikap KH. Hasyim Asyari kepada gurunya yang ingin menjadi murid?".
Berebut Menjadi Santri
Pasca Hadratus Syekh Hasyim Asyari berguru kepada Syekh Mahfud Termas, Syekh Syuaib, Syekh Nawawi di tanah suci kemudian pulang ke tanah air, pesantren Tebuireng menjadi magnet di bidang ilmu hadis.
Salah satu guru yang sangat dihormati oleh KH. Hasyim Asyari tiba-tiba mendatangi dan secara terang-terangan menyatakan ingin "ngaji" langsung di Tebuireng. Tak ayal, Hadratus Syekh kaget bukan main. Mengutip dari Akarhanaf, dialog kedua tokoh mulia ini bila dinarasikan dalam bahasa kekinian, kurang lebih demikian:
"Anda adalah guru saya, sangat tidak pantas seorang murid mengajari gurunya" ucap KH. Hasyim Asyari. Sang guru pun menyahut dengan tegas: "Memang, dulu saya menjadi guru anda, akan tetapi mulai sekarang saya adalah murid anda."
KH. Hasyim Asyari sangat terkejut akan perkataan tegas dari gurunya ini. Hadratus Syekh pun menarik nafas panjang lalu berkata:
"Status seorang murid di hadapan seorang guru tidaklah berubah sampai kapan pun. Tidak ada perubahan selama-lamanya. Tapi bila anda berkeinginan keras, saya pasrah. Namun sudilah kiranya anda menyepakati persyaratan yang akan saya ajukan kepada anda."
Sang guru pun penasaran dan bertanya: "apakah syaratnya?"
KH. Hasyim Asyari tersenyum penuh arti seraya menjawab: "bila anda telah menganggap saya sebagai guru, maka mohon diperhatikan beberapa aturan ini, 1) rumah ini harus anda tempati, yang artinya tidak bertempat di pondok, 2) anda tidak boleh mencuci pakaian sendiri, tapi harus menyerahkan kepada saya, 3) apabila anda menginginkan sesuatu, maka anda harus memerintah saya untuk menjalaninya."
Aturan yang dibuat oleh KH. Hasyim Asyari untuk gurunya itu ternyata tidak serta merta dipatuhi, bahkan cenderung dilanggar oleh keduanya, yakni "pembuat aturan" dan "yang diatur". Bagaimana tidak, tiap usai sholat Maghrib, dua kiai mulia ini saling berebut melayani, menata sandal dan memakaikan ke kaki "guru".
Sebagai pamungkas, "permata" kisah tentang dua tokoh yang saling berebut tawadlu' ini adalah: "masing-masing tidak ada yang mengaku guru atau senang menjadi kiai. Akan tetapi masing-masing berebut menjadi santri dan berharap diakui santri. Bukan untuk berharap diakui sebagai kiai."
Khususon Hadratus Syekh Hasyim Asyari wa masyayikhihi lahumul fatihah.
(Ditulis di atas bis dari Surabaya menuju Blitar)
______________
*Sekretaris PW LTNNU Jatim
from Dua Kiai Berebut Menjadi Santri Halaqoh
from Berkah Ramadhan http://berkahramadhankita.blogspot.com/2019/07/dua-kiai-berebut-menjadi-santri.html Dua Kiai Berebut Menjadi Santri
Comments
Post a Comment